LAMONGAN – Pakar hukum pidana Universitas Islam Lamongan, Ayu Dian Ningtias, SH, MH, menyoroti target Komisi III DPR untuk menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru mulai 1 Januari 2026, bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hasil revisi 2022.
Dalam pandangannya, Ayu menegaskan bahwa revisi KUHAP mutlak diperlukan agar dapat selaras dengan KUHP yang akan diberlakukan pada tahun 2026.
“Poin yang harus diperhatikan adalah mekanisme penyidikan. Ini harus benar-benar dipahami oleh Kepolisian dan Kejaksaan, sebagai dua komponen utama dalam Criminal Justice System. Kepolisian bertindak sebagai gatekeeper, sementara Kejaksaan menjadi master of the procedure, ” ujar Ayu.
Merujuk pada pendapat Didik Endro Purwoleksono dalam buku Hukum Acara Pidana, Ayu menjelaskan bahwa Kepolisian memainkan peran penting dalam fungsi represif terhadap kejahatan.
“Kecepatan Kepolisian dalam mengungkap kasus sangat menentukan kinerja sistem peradilan pidana secara keseluruhan, ” jelasnya.
Sebagai subsistem awal, Kepolisian menjadi garda depan yang memastikan setiap perkara ditangani dengan cepat dan akurat.
Sementara itu, Kejaksaan, lanjut Ayu, memegang otoritas utama dalam proses penuntutan.
“Secara universal, the power to prosecute memang berada di tangan Jaksa. Kejaksaan memiliki peran sebagai penyaring utama dalam menyeleksi perkara yang diterima dari penyidik, ” jelasnya.
KUHAP, kata Ayu, secara tegas memisahkan tugas antara penyidikan oleh Kepolisian dan penuntutan oleh Kejaksaan. Pembagian tugas ini bukan untuk membatasi, melainkan untuk memastikan bahwa proses peradilan berjalan secara terpadu atau dikenal dengan istilah integrated criminal justice system.
Dalam sistem ini, setiap aparat penegak hukum—Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan—memiliki kewenangan yang jelas dan tidak saling tumpang tindih. Diferensiasi kewenangan ini penting agar setiap perkara dapat ditangani secara efektif oleh pihak yang berkompeten.
“Dengan pembagian tugas yang jelas, kita menghindari adanya tumpang tindih kewenangan atau perkara yang tidak ditangani sama sekali. Setiap aparat penegak hukum memahami batas-batas tugasnya, sehingga tujuan sistem peradilan pidana dapat tercapai, ” tutup Ayu. (HK)